Perjalanan Haji: Jejak Cinta Keluarga Nabi Ibrahim dan Teladan Rasulullah

Haji bukan hanya menjalankan fisik menuju baitullaj
Achmad Haromain

Haji bukan hanya sekadar perjalanan fisik menuju Baitullah, tapi juga perjalanan hati menuju keikhlasan tertinggi. Dalam setiap putaran thawaf, sa’i, dan lempar jumrah, tersimpan kisah cinta dan pengorbanan keluarga Nabi Ibrahim AS, yang menjadi pondasi dari seluruh manasik haji.

Kisah ini bukan dongeng. Ia adalah sejarah hidup yang dijadikan ibadah, diteladani oleh Rasulullah SAW, dan kini diwariskan kepada kita semua, umat Islam di seluruh dunia.

Ibrahim: Ketundukan Tanpa Syarat

Ketika Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk meninggalkan istrinya, Siti Hajar, dan anak bayinya, Ismail, di lembah gersang yang sekarang kita kenal sebagai Makkah, ia taat tanpa bertanya. Tak ada logika yang bisa memahami tindakan itu, kecuali satu: iman dan cinta kepada Allah.

Baca juga: Sambut Ramadan, Polisi Gelar Bersih-Bersih di Sejumlah Masjid Kota Tangerang

Dan ketika Allah menguji lagi dengan perintah menyembelih Ismail, Ibrahim kembali patuh. Sebuah perintah yang bahkan sulit diterima oleh hati seorang ayah. Namun, di situlah puncak dari tauhid dan kepasrahan sejati.

Hajar: Cinta Ibu yang Menginspirasi Ibadah

Di tengah padang pasir yang sunyi, Siti Hajar berlari tujuh kali antara bukit Shafa dan Marwah, mencari setetes air untuk anaknya. Tapi bukan hanya air yang ia temukan — tapi keberkahan zamzam yang terus mengalir hingga hari ini.

Dari kegelisahan dan perjuangannya, lahirlah ritual sa’i, yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari haji dan umrah. Allah mengabadikan perjuangan seorang ibu dalam bentuk ibadah yang akan dilakukan jutaan manusia sepanjang zaman.

Baca juga: Pemprov Banten Keluarkan SE Pendaftaran Masuk SMA/SMK/SKH Tidak Perlu Legalisir Akte Kelahiran dan KK

Ismail: Ketaatan Sejak Dini

Ismail, sang anak yang lembut hati, menerima perintah Allah tanpa ragu.
“Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. InsyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS Ash-Shaffat: 102)

Sebuah kalimat yang menggambarkan ketaatan anak yang dibesarkan dalam keluarga penuh iman. Inilah rumah tangga yang menjadi panutan sejati: penuh cinta, penuh ketundukan kepada Rabb-nya.

Rasulullah SAW: Teladan dalam Setiap Langkah Haji

Hampir dua ribu tahun setelah peristiwa keluarga Ibrahim, datanglah penutup para nabi, Muhammad ﷺ. Beliau melaksanakan Haji Wada’, satu-satunya haji beliau setelah kenabian. Dan dalam setiap langkahnya, Rasulullah mengikuti manasik sebagaimana diajarkan oleh Nabi Ibrahim.

Baca juga: Zakat Yang Terkumpul di Baznas Kota Tangerang Tahun 2025 Capai Rp9,5 M

“Ambillah dariku manasik kalian,” sabda beliau. Maka sejak itu, semua detail ibadah haji—dari cara ihram, urutan wukuf, hingga melempar jumrah—menjadi jelas dan sempurna. Rasulullah bukan hanya mencontohkan secara teknis, tapi juga menanamkan makna spiritual di balik setiap amalan.

Warisan Haji: Pendidikan Jiwa dan Keluarga

Haji adalah jejak cinta keluarga Ibrahim, yang disempurnakan oleh keteladanan Rasulullah. Maka, siapa pun yang berangkat haji, sejatinya sedang mengikuti kisah cinta itu—sebuah kisah pengorbanan, ketaatan, dan keteguhan iman.

Haji mengajarkan bahwa:

Ayah harus teguh seperti Ibrahim,

Ibu harus sabar seperti Hajar,

Anak harus taat seperti Ismail,

Dan setiap Muslim harus meneladani Rasulullah dalam seluruh aspek hidupnya.

Haji, Cermin Ketundukan dan Cinta Ilahi

Setiap langkah dalam ibadah haji adalah pengulangan sejarah suci yang penuh pelajaran. Bukan hanya ritual, tapi pendidikan ruhani bagi keluarga, dan penyucian jiwa bagi setiap pribadi.

Semoga kita mampu meneladani keluarga Nabi Ibrahim dan Rasulullah ﷺ, bukan hanya di Tanah Suci, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Karena haji sejati bukan hanya perjalanan ke Makkah — tetapi perjalanan pulang dengan hati yang lebih bersih dan hidup yang lebih taat.

Semoga Allah memberikan kita semua kesempatan menapak jejak cinta itu, dan kembali membawa hati yang bersih dan hidup lebih taat. (jiyong makkah 2025)

Oleh: Achmad Haromain
(Dosen FEB UMT)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Advertisement Here

Topik Terkait

Advertisement Here

Trending