Di antara panas menyengat Tanah Suci dan lelahnya rangkaian ibadah haji, ada satu hal yang mampu membangkitkan senyum dan semangat jamaah haji Indonesia: semangkuk bakso panas.
Makanan khas Indonesia ini ternyata menjadi buruan nomor satu di kalangan jamaah, terutama mereka yang rindu akan rasa kampung halaman setelah berhari-hari hidup dengan menu-menu bercita rasa Arab yang berbeda.
Bagi banyak jamaah, khususnya dari kalangan ibu-ibu dan bapak-bapak, menyantap bakso di Mekah dan Madinah seperti menemukan mata air di tengah gurun. Rasanya yang akrab, kuah kaldu yang gurih, serta teksturnya yang kenyal menjadi penawar rindu yang tidak tergantikan.
Baca juga: Ketua Umum PWI Pusat Hendry Ch Bangun Prihatin Atas Ditangkapnya Wartawan Oleh Kejagung
Tak sedikit dari mereka yang mengatakan, “Makan bakso di sini seperti pulang ke rumah.”
Di sekitar hotel-hotel jamaah, terutama yang berada di wilayah Syisyah, Aziziyah, atau di sekitar Masjid Nabawi, aroma sedap kuah bakso menyeruak dari berbagai tenda kaki lima hingga restoran kecil.
Harganya bervariasi—untuk restoran kelas menengah bisa mencapai 20 riyal Saudi (SAR) per mangkuk, sedangkan versi kaki lima dengan harga sekitar 5 SAR. Meski begitu, harga bukan halangan. Sebab bagi para jamaah, kelezatan dan kenyamanan batin yang didapat jauh lebih berharga.
Baca juga: Perjalanan Haji: Jejak Cinta Keluarga Nabi Ibrahim dan Teladan Rasulullah
Namun kisah bakso di Tanah Suci tak berhenti di urusan rasa saja. Di balik mangkuk-mangkuk bakso yang menghangatkan jamaah, ada perjuangan para pedagang Indonesia yang menjadi penyambung rasa dan budaya.
Mereka hadir sebagai penjaga selera Nusantara—menyediakan bakso dengan racikan asli Indonesia, kadang bahkan mendatangkan bumbu dan bahan baku langsung dari tanah air.
“Layani Tamu-Tamu Allah”
Salah satu dari mereka, Pak Nur, yang sudah 10 tahun berjualan di Madinah, mengungkapkan, “Bakso bukan sekadar dagangan. Ini ibadah juga. Kami melayani tamu-tamu Allah.”
Dalam sebulan penuh musim haji, ia bisa menjual ratusan mangkuk per hari. Rezeki mengalir, namun yang lebih utama baginya adalah bisa menjadi penghubung rasa antara tanah air dan tanah suci.
Bakso di Mekah dan Madinah bukan hanya makanan, ia adalah simbol kehangatan, pelipur rindu, dan pengikat batin antara tanah suci dan Indonesia. Di tengah lautan manusia yang datang dari seluruh dunia, semangkuk bakso menjelma menjadi identitas yang menyatukan, bahwa sejauh apa pun kaki melangkah, rasa Indonesia tetap tinggal di hati. (jiyong Mekkah 2025).
Oleh : Achmad Haromain